Kamis, 07 November 2013

Demi Pendidikan, Rp1 Miliar "Melayang"

Ilustrasi. (Foto: Dede Kurniawan/Okezone)


Ilustrasi. (Foto: Dede Kurniawan/Okezone)
JAKARTA - Pendidikan menjadi hal utama untuk meningkatkan taraf hidup seseorang. Dengan pendidikan pula, maka seseorang dapat membuat hidupnya lebih sejahtera.

Oleh karena itu, Sophie Paris berencana menyumbangkan dana untuk pendidikan sebesar Rp1 miliar kepada Yayasan Helena, yang pesertanya terdiri dari anak-anak kurang mampu yang tak mampu sekolah.

Dana tersebut nantinya akan digalang melalui program jalan sehat Shopie Paris Fun Walk to Care yang akan dilaksanakan pada 10 November 2013 di Jakarta. Demikian disampaikan Founder & CEO Sophie Paris Bruno Hasaon di Jakarta, Kamis (7/11/2013).

Dia berharap, jalan sehat yang diperuntukkan bagi siapapun itu akan diikuti oleh 10 ribu orang. Mereka diwajibkan mendaftar di Bundaran HI atau datang ke Hotel Sultan dan membayar Rp5.000 per orang. Dana yang terkumpul ini akan langsung disumbangkan ke yayasan Helena.

"Peserta jalan sehat terdiri dari member Sophie Paris serta masyarakat umum yang berjalan menempuh jarak 3,6 km dengan rute depan hotel Sultan dan berakhir di Bundaran HI," tegasnya.

Menurut Bruno, jalan sehat ini merupakan rangkaian acara besar Sophie Paris Reward and Achievement Celebration untuk para anggota, leader, dan bussiness center Sophie Paris yang berprestasi.

Bahkan Shopie Paris akan mengajak sekira 500 orang member, leader, dan bussiness center jalan-jalan ke Malaysia pada 10-12 November 2014. (ade)

UN, Upaya Pengendalian Mutu Pendidikan

Headline
 
PERTANYAAN masyarakat terkait ujian nasional adalah kenapa terjadi pro-kontra, padahal acuannya sama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Atas perintah UU itu pula, pemerintah mengatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (juncto PP No 32/2013) tentang Standar Nasional Pendidikan.
Beberapa waktu lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Konvensi UN. Meski ada pihak yang walk out, diskusi UN ini berlangsung baik. Saya ingin menyampaikan mengapa UN harus jalan terus.
Ada empat pendapat dalam diskursus publik tentang UN. Pertama, UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan. Ketiga, UN untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi. Keempat, UN untuk peningkatan mutu.
Keempat pendapat tersebut memiliki korelasi dan interkorelasi kuat. Mengambil satu pendapat dan menafikan yang lain justru menunjukkan pemahaman yang belum utuh terhadap proses dan hasil evaluasi.
Pengendalian Mutu
Dalam konsep pengendalian mutu, keempatnya juga saling terkait. Maka, pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58).
Apabila kita memimpin sistem skala nasional, tetapi operasional sistem tidak sepenuhnya dalam kendali kita, perlu minimal dua "instrumen" agar sistem berjalan baik: standar yang berlaku nasional dan sistem evaluasi untuk pengendalian mutu.
Secara umum pengendalian mutu didahului dengan mengukur nilai produk dan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan (Grant, Montgomery). Dengan demikian, dalam pengendalian mutu harus ada kegiatan evaluasi: dari menilai, membandingkan, dan memutuskan hasil penilaian (Bloom).
Pengendalian mutu dilakukan dengan dua cara. Pertama, cara melekat (online) melalui pengendalian proses, dengan memantau hasil dari tiap langkah pembuatan produk. Pelaksananya adalah pendidik melalui ulangan, ujian, tugas, dan sebagainya.
Kedua, dengan cara terpisah (off line) melalui uji keterimaan (acceptance test) produk akhir. Uji ini dilakukan terhadap lulusan sebagai produk akhir proses pembelajaran, untuk memastikan lulusan sesuai standar kompetensi lulusan atau tidak.
Pengendalian mutu cara kedua dilakukan bukan oleh pelaksana (pendidik), melainkan oleh unit mandiri yang independen, yaitu dalam bentuk UN untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan. Ini satu-satunya standar untuk menyatakan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak.
Tentu bukan seperti Abduhzen ("Ujian Nasional Konvensional", Kompas 3/10/2013) yang menyatakan bahwa evaluasi peserta didik oleh lembaga mandiri adalah terhadap standar input seperti umur peserta didik, apalagi kemudian dikaitkan dengan angka partisipasi kasar yang menyatakan kuantitas pendidikan bukan kualitas pendidikan.
Analisis Penyebab
Tujuan pengendalian mutu adalah memastikan peningkatan mutu secara berkesinambungan (continuous quality improvement). Untuk itu, evaluasi pengendalian mutu perlu agar diketahui penyebab penyimpangan sekaligus langkah perbaikannya. Dalam hal inilah UN dipergunakan untuk pemetaan sekaligus pembinaan-perbaikan mutu.
Sekarang telah dikembangkan indeks kompetensi (IK) peserta didik dan satuan pendidikan untuk setiap mata pelajaran yang diujikan melalui UN. Agregasinya digunakan untuk menyusun IK kabupaten, kota, provinsi dan nasional. Melalui IK, akan diketahui kompetensi apa dari setiap mata pelajaran yang harus diperbaiki.
Berdasarkan analisis penyebab, ada kebijakan afirmasi terhadap 100 kabupaten/kota. Hasilnya, peningkatan rerata nilai UN murni jenjang SMA dari 6,16 (2010) menjadi 6,78 (2011). Pendekatan yang sama terhadap 154 SMA dengan rerata nilai UN murni 5,78 (2011) meningkat menjadi 6,15 (2012). Fakta ini sangat berbeda dengan tuduhan subyektif Doni Koesoema ("Konvensi (Setelah) Penghapusan UN", Kompas, 27/9/2013) bahwa UN belum berhasil meningkatkan mutu peserta didik.
Terkait kegagalan Georgia dan Philadelphia yang dikatakan Doni Koesoema, tidak menyurutkan minat pemerintah federal dan negara bagian Amerika Serikat memiliki ujian nasional. Saat ini 24 negara bagian membentuk konsorsium pelaksanaan ujian nasional, sebanyak 20 negara bagian lain membentuk konsorsium serupa.
Mengapa tidak menggunakan pengendalian mutu statistika (statistical quality control) dengan uji keterimaan secara sampel (acceptance sampling)? Ada banyak alasan sehingga praktik terbaik di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik ini. TIMMs dan PISA menggunakan sampel karena keduanya bukan alat penjamin mutu, tetapi pengukur dan pembanding mutu.
UU Sisdiknas telah merumuskan pengendalian mutu dengan jelas. Operasionalnya merumuskan evaluasi hasil belajar sebagai bentuk pengendalian proses dilakukan oleh pendidik dan evaluasi peserta didik sebagai bentuk uji keterimaan melalui UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kajian akademis tentang pengendalian mutu membuktikan bahwa UN adalah amanat UU Sisdiknas dan ditafsirkan Jusuf Kalla secara benar dari perspektif akademik, bukan sebagai politisi dan pedagang seperti ditulis Acep Iwan Saidi ("Ujian Nasional yang Permisif", Kompas, 3 /10/2013).
Masalahnya sekarang adalah bagaimana tataran praktis bisa melaksanakan hal ini dengan baik.
* Artikel ini sudah pernah dimuat di Harian Kompas, Rabu, 23 Oktober 2013

Kurikulum 2013: Sarana Peningkatan Mutu Pendidikan

Headline
 
SECARA konvensional terdapat kecenderungan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selalu dikaitkan dengan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, serta kompetensi guru. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya betul.
Ada komponen lain yang jarang disentuh yaitu kurikulum. Argumentasi yang dikemukakan pada tulisan ini adalah kurikulum merupakan instrumen strategis bagi upaya peningkatan mutu pendidikan.
Kenapa demikian?. Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan hanya akan memberikan makna bagi peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum.
Pada konteks Sistem Pendidikan Nasional rumusan tersebut dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pada Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab Ketentuan Umum SKL didefinisikan sebagai “kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan”.
Untuk menjamin agar SKL tersebut dapat dicapai maka kegiatan belajar mengajar tersebut dilengkapi dengan tujuh standar lainnya yaitu standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan. Keberadaan standar-standar ini telah dijamin oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 2.
Kurikulum 2013 sebagai bagian dari intervensi peningkatan mutu pendidikan, tentu tidak bisa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, SKL menjadi rujukan ketika Kurikulum 2013 diterapkan, termasuk tujuh standar nasional pendidikan lainnya.
Demikian juga dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tetap menjadi bagian Kurikulum 2013. Satuan pendidikan tetap mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang sesuai dengan kondisi satuan pendidikan tersebut. Di samping itu, Kurikulum 2013 tetap merupakan kurikulum berbasis kompetensi.
Namun demikian, sebagaimana dinyatakan pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38, kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Satuan pendidikan tetap harus merujuk pada kerangka dasar dan struktur kurikulum jika harus mengembangkan kurikulum sendiri. Ketentuan untuk merujuk pada kerangka dasar dan struktur kurikulum merupakan bagian dari quality assurance.
Dalam berbagai forum uji publik yang telah diselenggarakan dari tanggal 29 November sampai dengan 23 Desember 2012, beberapa perseta menanyakan tentang keberadaan Buku Babon. Mereka yang belum mengetahui tentang maksud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan Buku Babon beranggapan bahwa akan keseragaman dalam kurikulum, dan bertentangan dengan ketentuan pada PP nomor 19 tahun 2005.
Keberadaan Buku Babon, tidak dimaksudkan sebagai bentuk sentralisasi kurikulum dan penyeragaman, tetapi dimaksudkan untuk standarisasi dalam pelaksanaan kurikulum. Hal ini didasarkan pada adanya kecenderungan tidak setaranya kurikulum yang digunakan oleh satuan pendidikan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya perbedaan kompetensi guru, sehingga ada satuan pendidikan yang mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan atau contoh dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi satuan pendididkan tempat guru tersebut mengajar.
Buku Babon didisain untuk memfasilitasi guru melakukan tugas mengajarnya dan peserta didik mengikuti kegiatan belajar mengajar. Buku Babon direncanakan untuk memuat isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode evaluasi. Dengan ketiga komponen tersebut, guru diharapkan dapat melakukan diagnosis terhadap kesulitan belajar peserta didik dan peserta didik diharapkan akan mengetahui pada topik bahasan yang mana dia mengalami kesulitan untuk memahaminya.
Keberadaan Buku Babon merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh setiap siswa. Jika ada satuan pendidikan yang mampu untuk mencapai lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pada Buku Babon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melarangnya, bahkan mendorong setiap satuan pendidikan dapat mencapai target yang lebih tinggi.
Kurikulum 2013 merupakan intervensi peningkatan mutu yang strategis, namun sasarannya besar baik dari segi siswa yang akan menjadi subyek dari kurikulum 2013, maupun guru yang menjadi aktor utama dalam implementasinya, sehingga pelaksanaan secara serentak dengan sasaran semua satuan pendidikan secara nasional menjadi hal yang sulit untuk dilaksanakan.
Wakil Presiden dalam sambutannya dalam pembukaan Rembuknas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, menyatakan bahwa Implementasi Kurikulum 2013 perlu dilaksanakan segera secara bertahap dan jangan molor karena yang rugi generasi muda. Begitu molor pasti ada korban, sebagian generasi muda tidak bisa menerima manfaat kurikulum baru..
Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelas-kelas tersebut, maka pada tahun ajaran 2014/15 secara berjenjang dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnya di SD dapat dilaksanakan pada kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X.
Keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 tidak hanya pada ketepatan dan comperehensiveness perumusan SKL dan kerangka dasar, serta struktur kurikulum, tetapi dari kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat satuan pendidikan dan kepemimpinan guru pada tingkat kelas.
Kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peran penting dalam memfasilitasi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Sedangkan kepemimpinan guru di tingkat kelas jelas menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan bekerhasilan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013.
Guru merupakan aktor terdepan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 yang berhadapan dengan peserta didik. Peran penting guru antara lain meliputi: (1) kemampuan menjabarkan topik-topik bahasan pada mata pelajaran menjadi informasi yang menarik dan mudah dipahami oleh peserta didik, (2) kemampuan untuk mengidentifikasi tingkat dan area kesulitan peserta didik dan kemampuan untuk membantunya keluar dari kesulitan tersebut, dan (3) kemampuan melakukan evaluasi kemajuan belajar siswa.
Berdasarkan hasil evaluasi guru dapat menentukan strategi untuk menentukan metode pembelajaran yang lebih tepat dan kecepatan dalam memberikan informasi berupa pengetahuan kepada peserta didik.
Kurikulum 2013 memang merupakan instrumen peningkatan mutu pendidikan. Peran guru dan kepala sekolah menjadi pendukung utama agar Kurikulum 2013 dapat secara signifikan meningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah.
* Peneliti Pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang, Kemdikbud

FIFGROUP donasikan Rp 100 juta untuk pendidikan

FIFGROUP donasikan Rp 100 juta untuk pendidikan

FIFGROUP (Foto: Tatan R)
Merdeka.com -Sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat, khususnya dunia pendidikan, perusahaan pembiayaan PT Federal International Finance atau FIFGROUP memberikan bantuan kepada Panti Asuhan dan SLB Sayap Ibu, Yogyakarta serta SD Muhammadiyah Ngijon, Yogyakarta.
Penyerahan bantuan senilai Rp 100 juta tersebut diserahkan langsung oleh Suhartono, CEO FIFGROUP kepada pimpinan Yayasan Sayap Ibu dan Kepala Sekolah SD Muhammadiyah pada Rabu, 6 November 2013, bertempat di Panti Asuhan Sayap Ibu, Sleman Yogyakarta.
FIFGROUP
"Ini merupakan komitmen FIFGROUP untuk selalu memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan bangsa menuju better life, better future melalui kegiatan Corporate Social Responsibility," ujar Suhartono.
Suhartono berharap program bantuan ini dapat membawa manfaat bagi seluruh keluarga panti asuhan dan SLB Sayap Ibu serta keluarga besar SD Muhammadiyah Ngijon I, sehingga dapat terus semangat untuk berkreatifitas dan belajar.
(kpl/tr/sdi)

Sumber: Otosia.com